Selasa, 05 Juni 2012

TINJAUAN PUSTAKA


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.    Konsep Penyakit Diare
2.1.1.  Definisi penyakit diare
Diare adalah buang air besar lembek atau cair dapat berupa air saja yang frekwensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari) (DepkesRI, 2000). Sedangkan menurut Widjaja (2002), diare diartikan sebagai buang air encer lebih dari empat kali sehari, baik disertai lendir dan darah maupun tidak. Hingga kini diare masih menjadi child killer (pembunuh anak-anak) peringkat pertama diIndonesia. Semua kelompok usia diserang oleh diare, baik balita, anak-anak dan orang dewasa. Menurut Depkes (2010) diare adalah suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak seperti biasanya, ditandai dengan peningkatan volume keenceran, serta frekwensi lebih dari 3 kali sehari pada anak dan pada bayi lebih dari 4 kali sehari dengan atau tanpa lendir darah. Menurut Mansjoer A (2003), diare adalah buang air besar dengan konsistensi encer atau cair dan lebih dari 3 kali sehari. Diare menurut Ngastiyah (2005) adalah keadaan frekwensi buang air besar lebih dari 4 kali sehari pada bayi dan lebih dari 3 kali sehari pada anak, konsistensi faeces encer, dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja.
2.1.2.  Etiologi
Menurut Widjaja (2002), diare disebabkan oleh faktor infeksi, malabsorpsi (gangguan penyerapan zat gizi), makanan dan faktor psikologis.
1)      Faktor infeksi
Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak. Jenis-jenis infeksi yang umumnya menyerang antara lain:
a)      Infeksi oleh bakteri: Escherichia colin, Salmonella thyposa, Vibrio cholerae (kolera), dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan patogenik seperti pseudomonas. Infeksi basil (disentri),
b)     
8
Infeksi virus rotavirus.
c)      Infeksi parasit oleh cacing (Ascaris lumbricoides),
d)      Infeksi jamur (Candida albicans).
e)      Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronchitis dan radang tenggorokan, dan
f)        Keracunan makanan
2)      Faktor malabsorpsi
Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan lemak. Malabsorpsi karbohidrat, pada bayi kepekaan terhadap lactoglobulis dalam susu formula dapat menyebabkan diare. Gejalanya berupa diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit di daerah perut. Sedangkan malabsorpsi lemak, terjadi bila dalam makanan terdapat lemak yang disebut triglyserida. Triglyserida, dengan bantuan kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena lemak tidak terserap dengan baik.
3)      Faktor makanan
Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi, beracun, terlalu banyak lemak, mentah (sayuran) dan kurang matang. Makanan yang terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak dan balita.
4)      Faktor psikologis
Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan diare kronis. Tetapi jarang terjadi pada balita, umumnya terjadi pada anak yang lebih besar.
2.1.3.  Patofisiologi
Menurut Depkes (2010) proses terjadinya diare dapat disebabkan oleh berbagai kemungkinan, diantaranya:
1)      Faktor infeksi
Proses ini dapat diawali adanya mikroba atau kuman yang masuk dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerah permukaan usus selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorbsi cairan dan elektrolit atau juga dikatakan bakteri akan menyebabkan sistem transporaktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit meningkat.
2)      Faktor malabsorbsi
Merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsi yang mengakibatkan tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadi diare.
3)      Faktor makanan
Dapat terjadi peningkatan peristaltik usus yang mengakibatkan penurunan kesempatan untuk menyerap makanan yang kemudian menyebabkan diare.
4)      Faktor psikologis
Keadaan psikologis seseorang dapat mempengaruhi kecepatan gerakan peristaltik usus yang akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat menyebabkan diare.
2.1.4.  Jenis diare
Penyakit diare menurutDepkesRI(2000), berdasarkan jenisnya dibagi menjadi empat yaitu :
1)      Diare Akut
Diare akut yaitu, diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7 hari). Akibatnya adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi penderita diare.
2)      Disentri
Disentri yaitu, diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dan kemungkinan terjadinnya komplikasi pada mukosa.
3)      Diare persisten
Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan metabolisme.
4)      Diare dengan masalah lain
Anak yang menderita diare (diare akut dan diare persisten) mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.
2.1.5.  Tanda-tanda diare
Mula-mula pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, tinja cair, warna tinja makin lama kehijau-hijauan karena bercampur dengan empedu, anus dan daerah sekitar lecet, ubun-ubun cekung, berat badan menurun, muntah, selaput lendir mulut dan kulit kering (Ngastiyah, 2005).
2.1.6.  Gejala diare
Menurut Widjaja (2000), gejala-gejala diare adalah sebagai berikut :
1)      Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah.
2)      Suhu badan meningkat,
3)      Tinja bayi encer, berlendir atau berdarah
4)      Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu,
5)      Lecet pada anus,
6)      Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang,
7)      Muntah sebelum dan sesudah diare,
8)      Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah),
9)      Dehidrasi (kekurangan cairan), dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dehidrasi berat.
Sebelum anak dibawa ke tempat fasilitas kesehatan untuk mengurangi resiko dehidrasi sebaiknya diberi oralit terlebih dahulu, bila tidak tersedia berikan cairan rumah tangga misalnya air tajin, kuah sayur, sari buah, air the, air matang dan lain-lain.
2.1.7.  Epidemiologi penyakit diare
Menurut Depkes RI (2005), epidemiologi penyakit diare adalah sebagai berikut: Penyebaran kuman yang menyebabkan diare. Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu yang kotor, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar atau sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang tinja dengan benar.
1)      Faktor pejamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare
Faktor pada pejamu yang dapat meningkatkan insiden, beberapa penyakit dan lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah tidak memberikan ASI sampai umur 2 tahun, kurang gizi, campak, imunodefisiensi atau imunosupresi dan secara proposional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita.
2)      Faktor lingkungan dan perilaku
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare.
2.1.8.  Pencegahan diare
Di bawah ini adalah beberapa hal yang harus dilakukan untuk mencegah agar anak-anak tidak terjangkit penyakit diare, hal-hal tersebut adalah:
1)      Memberikan ASI
ASI turut memberikan perlindungan terhadap terjadinya diare pada balita karena antibodi dan zat-zat lain yang terkandung di dalamnya memberikan perlindungan secara imunologi.
2)      Memperbaiki makanan pendamping ASI
Perilaku yang salah dalam pemberian makanan pendamping ASI dapat menyebabkan resiko terjadinya diare sehingga dalam pemberiannya harus memperhatikan waktu dan jenis makanan yang diberikan. Pemberian makanan pendamping ASI sebaiknya dimulai dengan memberikan makanan lunak ketika anak berumur 6 bulan dan dapat diteruskan pemberian ASI, setelah anak berumur 9 bulan atau lebih, tambahkan macam makanan lain dan frekwensi pemberikan makan lebih sering (4 kali sehari). Saat anak berumur 11 tahun berikan semua makanan yang dimasak dengan baik, frekwensi pemberiannya 4-6 kali sehari.
3)      Menggunakan air bersih yang cukup
Resiko untuk menderita diare dapat dikurangi dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanannya di rumah.
4)      Mencuci tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan.
5)      Menggunakan jamban
Upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko penularan diare karena penularan kuman penyebab diare melalui tinja dapat dihindari.
6)      Membuang tinja bayi dengan benar
Membuang tinja bayi ke dalam jamban sesegera mungkin sehingga penularan kuman penyebab diare melalui tinja bayi dapat dicegah.
7)      Memberikan imunisasi campak
Anak yang sakit campak sering disertai diare sehingga imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare yang lebih parah lagi (Depkes, 2010).
2.2.    Konsep Pengetahuan
2.2.1.  Pengertian
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2003).
2.2.2.  Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan (Notoatmodjo S, 2003), yaitu :
1)      Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Oleh sebab itu “tahu” merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
2)      Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3)      Aplikasi (Application).
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4)      Analisis (Analysis).
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain, kemampuan analisis dapat dilihat penggunaan kata kerja dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan dan sebagainya.
5)      Sintesis (Synthesis).
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan suatu bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6)      Evaluasi (Evaluation).
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden.
2.2.3.  Cara memperoleh pengetahuan
Dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua (Notoatmodjo S, 2005), yakni :
1)      Cara tradisional atau non ilmiah
2)      Cara coba salah (trial and error)
Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain. Metode ini masih dipergunakan sampai sekarang terutama oleh mereka yang belum atau tidak mengetahui suatu cara tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
3)      Cara kekuasaan atau otoritas
Prinsip ini adalah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas tanpa terlebih dahulu menguji atau membuktikan kebenarannya. Baik berdasarkan fakta empiris ataupun berdasarkan penalaran sendiri.
4)      Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman adalah guru terbaik, maksudnya bahwa pengalaman itu sumber pengetahuan dan pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan.
5)      Melalui jalan pikiran
Berfikir induksi adalah pembuatan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang ditangkap oleh indera. Kemudian disimpulkan kedalam suatu konsep yang memungkinkan seseorang untuk memahami suatu gejala. Sedangkan berfikir deduksi adalah proses berpikir berdasarkan pada pengetahuan yang umum mencapai pengetahuan yang khusus.
6)      Cara modern
Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut “metode penelitian ilmiah”, atau lebih populer disebut metodologi penelitian (research methodology).
2.2.4.  Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Adabeberapa faktor yang bisa mempengaruhi pengetahuan seseorang baik langsung maupun tidak langsung diantaranya adalah:
1)      Umur
Semakin cukup umur tingkat pematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir, belajar, bekerja sehingga pengetahuanpun akan bertambah. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya. (Nursalam & Siti Pariani, 2001).
2)      Pendidikan
Tingkat pendidikan yang terlalu rendah akan sulit memahami pesan atau informasi yang disampaikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi sehingga banyak pula pengetahuan yang dimiliki (Effendy N, 1998). Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan kesehatan. (Nursalam & Siti Pariani, 2001). Menurut Kuncoroningrat (1997) yang dikutip oleh Nursalam dan Siti Pariani (2001), makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Tingkat pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar merupakan tingkat pendidikan yang melandasi tingkat pendidikan menengah, adapun bentuk pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan tinggi merupakan lanjutan pendidikan menengah adapun bentuk pendidikan tinggi mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan dokter yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi (Standar Pendidikan Nasional, 2005).
3)      Pengalaman
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan oleh karena pengalaman yang diperoleh dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa lalu. (Notoatmodjo S, 2005).
2.3.    Konsep Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
2.3.1.  Pengertian
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas dasar kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri dalam hal kesehtan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar memahami dan mampu melaksanakan Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta berperan aktif dalam Gerakan Kesehatan di masyrakat.
2.3.2.  Komponen PHBS
Rumah tangga sehat adalah rumah tangga yang melakukan komponen-komponen PHBS yang meliputi:
1)      Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
2)      Memberi bayi ASI eksklusif
3)      Menimbang bayi dan balita
4)      Menggunakan air bersih
5)      Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
6)      Menggunakan jamban sehat
7)      Memberantas jentik nyamuk
8)      Makan buah dan sayur setiap hari
9)      Melakukan aktivitas fisik setiap hari
10)  Tidak merokok di dalam rumah
2.3.3.  Manfaat PHBS
1)      Bagi keluarga
  1. Menjadikan anggota keluarga lebih sehat dan tidak mudah sakit
    1. Anggota keluarga lebih giat dalam bekerja
    2. Pengeluaran biaya rumah tangga dapat ditujukan untuk memenuhi gizi keluarga, pendidikan dan modal usaha untuk menambah pendapatan keluarga.
2)      Bagi masyarakat.
  1. Mampu mengupayakan lingkungan sehat.
  2. Mampu mencegah dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan.
  3. Memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.
  4. Mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM) seperti Posyandu, tabungan ibu bersalin (Tabulin), arisan jamban, ambulan desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar